Gejolak
dunia untuk terus berkembang merupakan sebuah hukum alam yang pasti. Semua
aktifitas pembangunan di dunia terjadi karena adanya kebutuhan dan perkembangan
populasi dunia. Dari hasil perhitungan World Population Clock di tahun 2014
saja jumlah penduduk dunia telah mencapai 7 milyar orang dengan perbandingan
antara tingkat kematian dan kehidupan sebesar 41%. Dari angka ini terlihat
bahwa saat ini pertumbuhan populasi manusia (perbandingan antara kehidupan dan
kematian) belum mencapai angka seimbang, 0%. Pertumbuhan penduduk dunia
sebenarnya bukan merupakan masalah utama, di sisi lain masih banyak terdapat
masalah lanjutan dari pertumbuhan populasi manusia ini. Krisis air, pangan dan
energi merupakan sebuah fenomena besar yang mungkin saat ini tengah dihadapi
sebagian besar negara berkembang di dunia. Sekitar 90% hasil agrikultur di
Nigeria berasal dari ladang-ladang kecil yang tidak efisien sehingga hampir 91
juta jiwa penduduk di negara ini mengalami krisis pangan (www.
Washingtonpost.com).
Menurut Proffesor
A. K. Biswas dari United Nations Human Development, krisis ini tidak hanya
disebabkan oleh adanya kelangkaan melainkan juga dipicu oleh mismanagement. Dalam
tulisannya yang berjudul Institutonalising Sustanable Development, Mona Sahlin
mengatakan bahwa jika setiap orang menggunakan energi dan sumber daya alam sama
seperti yang dilakukan oleh orang-orang di dunia Barat, pastilah kita
membutuhkan tiga dunia untuk mencukupinya. Oleh karena itu pentingnya ilmu
management dalam pembangunan pengelolaan kota. Pembangunan yang berkelanjutan
mengharuskan setiap individu mampu menciptakan keseimbangan hubungan antara
ekonomi, sosial dan lingkungan. Keseimbangan yang dimaksud saat ini bukan hanya
seimbang secara kuantitas saja, melainkan lebih dari itu.
Tidak adanya
sistem pembangunan yang berkelanjutan lambat laun akan meningkatkan gap antara
si miskin dan si kaya. Seperti saat ini, di beberapa negara ada yang mengalami
pelimpahan sumber daya seperti air. Namun di negara lain, air merupakan sebuah
sumber daya yang sangat sulit untuk diperoleh. Khususnya di negara-negara
Afrika, krisis air ini menjadi sebuah masalah yang dihadapi oleh beberapa
daerah sehingga secara lansung sistem sanitasi di daerah ini memiliki kualitas
yang buruk. Saat ini sekitar 1,8 juta anak di dunia meninggal setiap tahunnya
karena adanya masalah krisis air bersih dan rendahnya sistem sanitasi yang ada.
Kesenjangan sumber daya ini terjadi karena tidak seimbangnya perkembangan
teknologi dan ekonomi antar satu daerah dengan daerah lainnya.
Teknologi
dan ekonomi yang berkembang menuntut pertumbuhan konsumsi dari wilayah
tersebut. Lihat saja India dan China sebagai contoh dari negara berkembang yang
memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat, peningkatan kebutuhan energi dan
pencemaran di wilayah ini juga meningkat. Selain pertumbuhan ekonomi, ternyata
perkembangan teknologi juga turut memacu kerusakan lingkungan seperti yang
terjadi saat ini. Sekitar 200 tahun yang lalu, bahan bakar fosil menjadi sebuah
temuan yang dapat meningkatkan kemajuan revolusi industri di beberapa negara.
Setiap wilayah mulai berbondong-bondong menggunakan temuan ini hingga akhirnya
terjadi peningkatan gas CO2 di udara.
Benar kata
pepatah bahwa segala hal yang berlebihan tidaklah baik, kelebihan gas CO2
inipun menyebabkan sebuah masalah besar yang saat ini tengah melanda iklim
dunia, yaitu pemanasan global. Pemanasan global bukan hanya menjadi
permasalahan lingkungan, melainkan permasalahan sosial karena fenomena ini
telah merubah aktivitas sosial masyarakat. Pemanasan global telah meningkatkan
pola konsumsi masyarakat sehingga penggunaan teknologi semakin ditingkatkan.
Embel-embel penggunaan teknologi canggih telah menarik perhatian dunia dimana
sebagian besar diantaranya menyisakan polusi bagi lingkungan.