Yelna's Hope

This website is a valuable resource that presents a wealth of professional experience and the unique point of view of Yelna Yuristiary. Yelna generously shares her insights, knowledge, and expertise, with the hope that readers can use the information to enhance their own understanding, make informed decisions, and achieve their goals.

Monday, June 25, 2012

Memoar Indah di Jogja


Perjalanan paling hemat yang pernah kujalani selanjutnya adalah berkunjung ke Jogja dengan tiket KA Ekonomi dengan harga 37 ribu rupiah. Perjalanan ke Jogja kami dimulai tanggal 13 Juni 2012 jam 7 malam. Kami berangkat dari stasiun Tanah Abang ke Lempuyangan (Jogjakarta). Perjalanan dengan KA Ekonomi ini lumayan nyaman walaupun setiap detik selalu ada pedagang-pedagang yang lalu lalang menawarkan barang dagangannya. Tapi, ya namanya juga usaha nggak apa-apa sih. Yang penting dia senang kita tenang. Kami sampai di stasiun Lempuyangan pukul 05.30 pagi. Sesampainya di stasiun Lempuyangan kami mulai mencari tiket untuk pulang karena sebelumnya di stasiun Tanah Abang kami kehabisan tiket pulang (kehabisan tiket Ekonomi). Hehehe… Berhubung karena saat itu hari masih pagi dan loket penjualan tiket belum buka, kami menyempatkan diri dulu untuk sholat di musholla sekitar stasiun Lempuyangan. Sarapan pagi kami juga dilakukan di warung depan stasiun. Pukul 07.30, kami pun mulai mengantri membeli tiket hingga akhirnya kami hanya menemukan tiket AC Ekonomi Gajahwong untuk pulang di tanggal 17 Juni.
Lepas dari urusan tiket, kami mulai berjalan menuju shelter bus Trans-Jogja yang berada di dekat stasiun ini. Hal pertama yang sangat aku ingat tentang kota ini adalah kecepatan dari sepeda motor dan mobil di jalanan kota ini sepertinya lumayan kencang. Kami pun mulai perjalanan dari shelter Trans Jogja ini ke halte Prambanan karena destinasi kami selanjutnya adalah Candi Prambanan ini. Nah, satu hal lagi yang sepertinya lumayan aneh menurutku adalah kami sangat narsis ketika pertama kali sampai di Jogja. Hal ini terlihat dari banyaknya foto-foto kami di shelter bus Trans Jogja. Padahal kalau dipikir-pikir shelter bus ini biasa saja. Bedanya ia terletak di Jogja. Itu saja. Sesampainya di Candi Prambanan, kami memasuki wilayah Candi dan mulai memesan karcis masuk lengkap dengan wisata Ratu Yelna. Upps.. Maaf salah, Ratu Boko maksudnya. Hahahaa.. :D
Kami pun diajak oleh bapak guide-nya ke lokasi Ratu Boko dan mulai berfoto-foto di sana. Berbagai pose dikeluarkan dari berdiri, jongkok, duduk, berdiri setengah jongkok setengah hingga sampai berpura-pura jadi wall climbers juga ada. Bagi yang cowok-cowok juga mulai uji nyali di lokasi ini dengan turun ke tempat pembakaran jenazah di lokasi Ratu Boko ini. Beralih dari lokasi Ratu Boko, kami menuju Candi Prambanan yang letaknya lebih dari 3 km dan ditempuh dengan mobil paket wisata Candi ini. Di Prambanan inilah tenaga kami sudah terkuras habis hingga ada satu awak dari tim kami yang kerjanya hanya mencari tempat teduh untuk ‘bobok’ siang. Di Prambanan juga kami masih foto-foto dengan berbagai pose. Rasanya ke Candi ini hanya untuk mencari view terbaik dan menyelipkan muka di view yang baik itu. Pukul 03.30 sore kami mulai bertolak menuju pantai Parang Tritis, tepatnya Losmen Prasetyo yang ada di sana. Sebelumnya kami sudah memesan kamar di losmen ini dan herannya kami bahwa losmen di daerah ini sangat murah. Ya, Rp 40000/malam untuk 3 orang merupakan harga yang ditawarkan oleh pemilik losmen ini untuk kami. Perjalanan ke Parang Tritis dimulai dari terminal Giwangan yang letaknya sendiri kami tidak tahu karena tidak ada di dalam peta Jogja yang kami cetak.
Perjalanan ke Parang Tritis ternyata cukup lama dan membuat ngantuk. Di bus yang kami tumpangi juga sedikit aneh karena tidak ada kenek bus-nya dan si sopir selalu mengisi bus-nya walaupun kami sudah empot-empotan di dalam bus yang berukuran lumayan mini itu. Hal ini juga sangat berkesan bagi salah satu awak tim kami yang sempat kehilangan topi milik bapaknya di bus ini. Namun, sepanjang perjalanan sebenarnya kami juga menikmati indahnya Gunung Kidul dan sunset yang timbul tenggelam di balik rumah-rumah dan pepohonan sepanjang jalan yang kami lalui. Pukul 05.40 kami pun tiba di losmen Prasetyo. Pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah yang disulap jadi losmen ini kami awalnya gembira. Si abang-abang penunggu losmen pun mengantarkan kami ke kamar yang telah kami sewa. Namun, suasana mistis mulai terasa ketika dua dari awak tim kami pulang dari laut untuk melihat sunset. Salah seorang dari mereka menceritakan kengerian di losmen ini. Hal ini didukung juga dengan sepinya losmen yang menjadikan rumah ini bukan seperti penginapan. Akan tetapi lebih seperti tempat persembunyian di dekat Pantai Parang Tritis. Malamnya kami mulai berjalan ke arah pantai dan menyusuri laut disana. Disini juga terasa suasana mistis karena pada malam itu merupakan malam Jumat Kliwon dimana banyak penduduk yang melakukan ritual-ritual di pantai tersebut. Tidak jauh dari lokasi ritual juga terdapat semacam pasar kaget yang menjual berbagai macam jenis dagangan. Mulai dari pakaian, permainan, alat perkakas, hingga jimat-jimat yang diyakini oleh beberapa orang. Namun, malam itu kami tidak berlama-lama di pantai karena suasana yang seram dan minimnya penerangan di pantai itu menjadikan pantai ini sangat tidak menyenangkan untuk dikunjungi di malam hari.
***
Paginya, kami terlambat bangun. Hal ini menyebabkan kami tidak sempat menyaksikan sunrise di balik Gunung Kidul yang letaknya persis di depan losmen kami. Namun, pagi itu juga kami mulai berbenah dan menuju pantai kembali untuk menikmati suasana di sana. Sesampainya di pantai, barulah kami melihat indahnya pantai yang tadi malam kami kunjungi. Ombaknya yang besar menjadi sensasi tersendiri ketika berada di tengah-tengahnya. Di pantai ini kami mulai bercanda dan berlari-larian seenaknya. Ketika air surut kami ke tengah, dan ketika ada ombak yang besar kami mulai berlari-larian. Ada juga beberapa teman kami yang sengaja berfoto di tengah ombak dan membiarkan pakaiannya basah. Di pantai ini juga ada dokar dan bapak penjual kacamata. Salah satu trik bapak ini untuk menggaet pelanggan wanitanya adalah memanggil ‘puteri’ kepada pelanggannya ini. Yah, bagi saya dan beberapa teman saya yang notabene orang Sumatera pasti akan terbang mendengar sebutan ini.
Usai bermain-main di pantai kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Malioboro. Sesampainya di Malioboro kami mulai mencari hotel dan berencana pergi ke Borobudur. Namun, waktu dan kesempatan sepertinya tidak berpihak dan hal ini merubah rute kami yakni hanya berbelanja di Malioboro. Awalnya kami merasa sedikit sedih karena tidak jadi ke Borobudur di hari itu. Planning yang gagal menjadikan kami bermuram durja hingga akhirnya…Terereeeng… Malioboro mengubah kesedihan itu menjadi sifat belanja gila yang menjadi-jadi. Di Malioboro ini kami seolah-olah mendapatkan semangat baru untuk lebih kuat berjalan, menawar dan mencari oleh-oleh yang pas untuk dibawa pulang. Harga yang ditawarkan pun lumayan murah dan menjadikan kami sedikit ahli dalam hal tawar-menawar. Di Malioboro kami menghabiskan waktu sampai malam dan baru pulang ketika kaki-kaki kami rasanya sudah mau copot. Perjalanan pulang ke hotel Indonesia merupakan suatu hal terberat yang kami rasakan karena setiap langkah yang kami lakukan berpeluang bagi kami untuk singgah di kaki lima yang menawarkan berbagai produk dan oleh-oleh yang membuat silau mata dan hasrat yang besar untuk menghabiskan uang disana.
Sesampainya di hotel Indonesia, kami istirahat sejenak dan memulihkan tenaga untuk kembali pergi ke alun-alun selatan Jogja. Perjalanan ke alun-alun selatan kami tempuh dengan berbecak ria dan menikmati malam di Jogja. Jogja memang kota yang indah dan temaram di malam hari. Jauh dari hiruk pikuk dan hingar bingar dunia metropolitan yang terkadang masih semrawut ketika malam tlah tiba. Di alun-alun selatan, kami mulai mengisi perut terlebih dahulu dengan mencicipi makanan khas dan minuman khas Jogja. Tidak lupa juga kami menikmati suara-suara pengamen di Jogja yang mana mengamennya tergolong bagus dan berkualitas. Setelah makan-makan, kami mulai mencoba mitos pohon beringin yang ada di alun-alun selatan ini. Ketika mencoba beringin inilah aku merasa benar, namun ternyata salah. Langkah yang melenceng dan halusinasi semu yang menjadikan aku tak sampai-sampai ke tengah beringin ini. Bosan mencoba, aku pun mengurungkan niatku untuk kembali melangkah dan menjadikan mitos ini hanya mitos. Hahaha… Emang gue pikirin.
Selepas mencoba mitos beringin yang aneh itu, kami pun naik sepeda hias yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadikan sepeda ini sangat digandrungi oleh wisatawan yang berkunjung ke daerah ini. Kami bersepeda sebentar saja (hanya 2 keliling) alun-alun dan setelah itu kami pun kembali ke hotel.
***
Pagi ini kami bangun tepat waktu. Pukul 06.00 aku dan salah satu awak tim kami mulai berbecak ria menuju pusat oleh-oleh Bakpia Pathuk 25. Kami pun mulai blenja-blenji Bakpia untuk dibawa pulang. Setelah itu pukul 07.00 kami mulai perjalanan ke Candi Borobudur dengan terlebih dahulu ke terminal Jombor. Di terminal Jombor inilah kami menyempatkan diri untuk sarapan di angkringan dan membeli bekal makan siang untuk di Candi nantinya. Perjalanan ke Borobudur merupakan perjalanan yang cukup lama, sekitar 3 jam. Setelah sampai di terminal Borobudur kami pun mulai berjalan kaki ke arah Candi di tengah cuaca terik hari itu. Sesampainya di Candi, kami pun mulai membeli karcis dan masuk ke Candi dengan terlebih dahulu menggunakan batik yang diikatkan ke pinggang. Pembatikan ini dilakukan untuk menjaga kelestarian batik di mata dunia (ini opiniku, opinimu). Nah, di Borobudur ini satu-satunya kegiatan yang kami lakukan adalah FOTO-FOTO dan BERNARSIS RIA. Namun, salah satu dari awak tim kami yang dulunya pernah mencari lokasi ‘bobok’ siang di Candi Prambanan lagi-lagi hanya menjadi fotografer di acara foto-foto ini. Sepertinya ia kurang tertarik untuk menjadi objek foto. Di Borobudur kami menghabiskan waktu yang cukup lama hingga siang dan kami pun makan siang di pelataran candi dengan bekal yang telah kami bawa sebelumnya.
Setelah itu kamipun pulang dan juga sempat ‘nyangkut’ di pasar tradisional yang kembali menawarkan oleh-oleh khas Jogja dan Borobudur di sini. Perjalanan pulang dari Borobudur kami rasa sangat melelahkan. Hal ini terlihat dari kondisi seluruh tim yang tertidur pulas di bis angkutan menuju Jombor. Dari Jombor kami pun kembali menuju hotel Indonesia untuk mengambil barang-barang yang kami titipkan sebelumnya. Pukul 05.00 sore, kami pun menuju mesjid sekitar Malioboro untuk sholat magrib kemudian setelah itu kami menuju shelter Trans Jogja untuk menuju stasiun Lempuyangan karena pukul 07.20 KA Gajah Wong akan berangkat kembali ke Jakarta. Perjalanan di bus kami habiskan dengan bersenda gurau dan perpisahan kecil-kecilan dengan kota ini. Di dalam bus kami tertawa cekikikan dan mulai ngalor ngidul nggak jelas. Hingga akhirnya kami merasa perjalanan ini terlalu lama. Padahal jika dilihat di peta, jarak antara Malioboro dan stasiun tidak begitu jauh. Dan ternyata… Kami salah dalam memilih moda transportasi menuju stasiun. Salah seorang bapak mengatakan, ‘Ada baiknya kalau tadi kalian naik becak saja. Kalau naik ini sama saja kalian mengelilingi Jogja dengan bus’. Serasa mendengar langit akan runtuh karena sebentar lagi Kereta kami akan berangkat. Disitu kami mulai panik dan berkeluh kesah. Ada juga yang frustasi sampai ada yang sakit perut mendadak. Hingga akhirnya kami tiba di shelter bus dekat stasiun pukul 07.10 malam. Padahal untuk menuju stasiun kami harus berjalan kaki beberapa ratus meter yang mana hal itu sangat tidak mungkin ditempuh dengan waktu 10 menit. Namun, ternyata Tuhan memiliki jalan lain dimana untungnya ada 1 tukang ojek dan 1 becak yang ada di shelter itu sehingga kami menggunakan 1 ojek dan 1 becak ini untuk mengangkut kami dan barang-barang kami ke stasiun. Tapi ironisnya, bagi para lelaki yang ikut dalam ekspedisi ini, mereka diharuskan berlari sekencang-kencangnya karena tidak muat di ojek dan becak ini. Hingga berkat kerja keras, keyakinan dan semangat juang yang tinggi, kami pun tiba di stasiun Lempuyangan tepat waktu. Dan ternyata lagi, keretanya telat 10 menit dan inilah hal yang menyebabkan kami tidak terlambat pulang ke Jakarta.
Sayonara Jogjakarta… :*

Sunday, June 24, 2012

PULAU PARI, PULAU NATURAL


Pulau Pari merupakan salah satu destinasi wisata bawah laut yang terletak di Kepulauan Seribu Jakarta. Pulau ini memang belum se-populer dengan Pulau Pramuka, Pulau Bidadari dan Pulau Tidung yang ada di Kepulauan Seribu. Namun, keindahan biota bawah laut di pulau ini lebih mengesankan dibandingkan beberapa pulau yang telah disebutkan sebelumnya. Perjalananku kali ini dimulai tanggal 9 Juni 2012 lalu. Aku dan teman-teman sengaja berkunjung ke Pulau Pari dalam rangkaian kegiatan Green Tourism Act dimana program ini bekerja sama dengan GCUI (Green Community Universitas Indonesia) dan Green Peace. Perjalanan dari Pulau Pari ini dimulai sejak pukul 06.00 pagi dari kampus Universitas Indonesia hingga akhirnya kami tiba di Muara Angke pada pukul 08.10. Satu hal yang harus diketahui oleh para petualang yang hendak berkunjung ke lokasi wisata kepulauan seribu adalah kita harus mengetahui budget yang kita miliki dan waktu yang dimiliki ketika berwisata. Jika anda ingin pelayanan dan service yang mewah, anda bisa menyeberang dari Pelabuhan Marina Ancol dengan menggunakan feri mewah. Namun, jika anda ingin berlama-lama menikmati terombang-ambing di laut dengan kapal kayu bermesin, anda cukup menyeberang lewat Pelabuhan Muara Angke. Tentu saja dari harga yang ditawarkan kedua fasilitas ini memiliki perbedaan pada harga, ketepatan waktu dan tingkat kenyamanannya.
Di hari pertama kedatanganku di Pulau ini kami disambut oleh beberapa warga yang sangat ramah. Perjalananku dimulai dari pelabuhan pulau ini ke villa yang akan kami tempati. Untuk masalah tempat tinggal, pulau ini menyediakan banyak rumah warga yang bersedia ditempati. Selain itu juga ada lokasi LIPI yang biasanya digunakan sebagai tempat penelitian di pulau ini dan para wisatawan juga dapat menginap di gedung LIPI tersebut. Pastinya dengan seizin pihak daerah Pari ini sendiri. Hehehe… Nah, siang itu kami makan di lokasi LIPI kemudian setelah itu segera menuju ke lokasi penanaman bakau. Satu hal yang harus dibawa ke pulau ini adalah sandal jepit. Kenapa? Ya, dengan sandal jepit kita bisa masuk laut tanpa harus terpijak sepihan karang yang tajam. Dengan sandal jepit kita juga bisa makan di warung atau restoran. Maka tak heran jika alas kaki yang paling populer bagi para backpacker adalah sandal jepit. So pasti kita juga harus milih-milih dong sandal jepitnya. Jangan sampai terlalu jelek juga.
Setelah puas menanam bakau di pesisir pantai pulau ini kami menuju pelabuhan pari untuk menemui bapak-bapak yang sampannya sudah kami sewa untuk mengantarkan kami ke tempat snorkeling. Di Pulau ini kita sangat mudah dalam hal menemukan tempat penyewaan alat-alat snorkeling karena sebagian besar masyarakatnya menjadikan jasa penyewaan alat-alat snorkeling sebagai profesi mereka. Snorkeling di pulau pari ini sangat menyenangkan. Saat itu aku kebagian snorkeling di daerah antara pulau Pari dan pulau Tikus dimana lokasi snorkeling ini sangat dijaga kebersihan dan tingkat pencemarannya. Nah, dalam ber-snorkeling inilah aku kewalahan melaksanakannya karena kegiatan ini adalah hal yang baru bagiku. Untuk snorkeling digunakan beberapa peralatan seperti snorkel (pipa untuk bernapas), kacamata air, pelampung dan fin (kaki katak). Pertama kali si bapak membagikan peralatan snorkeling awalnya aku hanya diam saja dan urung mengikuti beberapa temanku yang sudah kegirangan akan snorkeling. Phobia-ku terhadap laut (takut tenggelam karena tak bisa berenang) menjadikan kami (aku dan temanku vivi) semakin menjauhi alat-alat snorkeling ini. Namun, melihat kegirangan orang-orang di dalam laut itu aku pun tergerak untuk mengambil alat-alat snorkeling dan mulai menggunakannya. Pertama kali menggunakan snorkel, aku rasanya mau muntah karena di dalam snorkel itu masih ada sisa-sisa air laut yang asin dan aku membayangkan alat snorkel itu adalah bekas mulut orang lain sebelumnya. Setelah menggunakan alat snorkel, aku pun berlatih bernafas sebentar dan mulai menggunakan kacamata air. Dasarnya orang udik, aku tidak sengaja bernafas di dalam kacamata tersebut sehingga muncullah embun di kacamataku ini.
Namun, aku seolah-olah sudah sangat mahir dan mulai menceburkan diri ke dalam laut dengan terlebih dahulu menggunakan pelampung. Nah, ketika menceburkan diri mulai timbul rasa takut di dalam diriku. Entah kenapa rasanya ombak di tempat itu menjadi arus yang sangat mengerikan bagiku dan akhirnya aku cuma nempel di tangga sampan kami. Penasaran dengan terumbu karang, sesekali aku mencelupkan wajahku untuk melihat karang-karang yang indah di lokasi ini. Namun, hingga akhirnya kegiatan snorkeling selesai aku hanya bisa nempel di tangga dan sesekali mencelupkan muka. Kalau diingat-ingat, rasanya aku pengen belajar berenang deh supaya nggak rugi lagi.
Setelah snorkeling usai, kami pun pulang karena perjalanan sudah magrib. Perjalanan pulau dari lokasi ini sungguh menyenangkan. Hal ini disebabkan karena sunset di tengah laut yang dapat kalian nikmati secara jelas seakan memberi tahu kalian batas cakrawala dari pantai pulau ini. Hingga akhirnya, malam pun tiba dan kami melanjutkan beberapa acara seperti talkshow dan hiburan malam bersama di pulau ini.
Keesokan harinya, aku dan vivi mulai mencari sampel air yang akan kami teliti nantinya sepulang dari acara ini. Maklum, kami dikirim kesini dalam misi riset yang mana hal ini juga membuka peluang jalan-jalan gratis bagi kami. Kami pun mulai mencari sampel air di sekitar dermaga LIPI yang lumayan banyak sampahnya. Ya, itung-itung melihat sisi lain dari pulau ini. Hehehe… Setelah itu kami pun menuju Pantai Pasir Perawan yang sangat populer di pulau ini.
Berbicara tentang Pasir Perawan, sepertinya nama ini sangat cocok buat pantai yang satu ini. Disini kalian dapat melihat pantai pasir putih dengan beberapa tumbuhan laut seperti bakau dan pandan laut yang sangat mempesona. Tidak jarang juga terdapat karang-karang di pantai ini karena ketika kami kesana sepertinya pantai sedang dalam posisi surut. Satu hal yang sangat mengesankan tentang pantai ini adalah pasir putihnya yang sangat halus dan terlihat masih perawan (maksudnya belum banyak diinjek orang). Pantai ini terbilang cukup sepi dan sangat cocok untuk dijadikan lokasi ‘Me Time’. Di Pulau Pari juga terdapat Pohon Abadi yang merupakan pohon tua yang sudah ada sejak zaman dulu kala. Pohon ini sangat rindang dan dapat dijadikan lokasi nongkrong yang sangat bagus di siang bolong yang panas. Tentunya dengan ditemani es kelapa muda yang dapat ditemukan di warung-warung pulau ini.

LAUT PULAU PARI BERKEMBANG NAMUN TERANCAM


 Oleh : Tim Riset Pulau Pari dalam rangkaian acara Green Tourist Act 2012
Perkembangan wisata Pulau Pari saat ini merupakan salah satu dampak dari apresiasi global masyarakat terhadap lingkungan dan kehidupan bawah laut. Wisata bawah laut Pulau ini dapat dikatakan sedang berkembang, namun bisa jadi perkembangan ini mengancam kehidupan biota laut di daerah ini.

Pemandangan wisata bawah laut Pulau Pari memang terbilang lebih memukau dibandingkan Pulau Tidung yang saat ini sudah banyak dikunjungi oleh banyak turis baik domestik maupun mancanegara. Pulau Pari yang memiliki luas sebesar 40,32 ha dengan jumlah penduduk sekitar 697 jiwa merupakan salah satu pulau di Kepulauan Seribu yang masih tergolong cukup alami. Keadaan inilah yang memancing beberapa wisatawan untuk berkunjung ke pulau ini dan menikmati pemandangan bawah lautnya yang mengesankan.
Pulau Pari pernah dikenal sebagai salah satu daerah penghasil rumput laut. Namun saat ini hanya beberapa masyarakat saja yang mengelola dan membudidayakan rumput laut ini sebagai mata pencahariannya. Sebagian besar masyarakat di Pulau Pari terlihat lebih tertarik dengan pengembangan wisata pulau ini sehingga saat ini banyak terlihat berbagai jenis villa, sepeda, dan peralatan snorkeling yang disewakan di pulau ini.
Pada tanggal 9-11 Juni 2012 lalu, tim riset sampel air dari Green Community UI berhasil melakukan riset kecil mengenai sampel air laut di Pulau Pari ini. Adapun tujuan dari riset ini untuk mengetahui tingkat kekeruhan, DO (oksigen terlarut), TDS (Total Dissolve Solid), pH, dan warna dari air laut pulau ini yang diambil di dua titik sebagai sampel. Pengujian air dilakukan di Laboratorium Teknik Penyehatan dan Lingkungan Universitas Indonesia.
Sampel air yang diambil dalam riset ini terdiri dari 2 jenis sampel yakni sampel A (air laut yang diambil dengan jarak ± 0,2 km dari garis pantai) dan sampel B (air laut yang diambil dengan jarak ± 5 km dari garis pantai). Berikut adalah hasil dari pengujian dua sampel air tersebut.

Parameter yang diuji
Sampel A
Sampel B
Alat yang digunakan
pH
7,75
7,79
pH-meter
TDS (mg/L)
31400
32700
TDS-meter
Warna (PtCo)
37
2
Spektrofotometri DR 2000
Kekeruhan (NTU)
8,43
0,68
Turbidimeter
DO (mg/L)
2,83
5,90
DO-meter

Dari hasil pengujian yang dilakukan, diketahui bahwa sampel air A memiliki perbedaan karakteristik dengan sampel B. Pengujian air dengan lima parameter ini sesungguhnya belum mencukupi untuk pengujian air baku air minum layak konsumsi atau tidak. Dalam riset ini, tim GC UI merujuk kepada Permenkes Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum dan PP RI No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air. Dari kelima parameter yang diuji, terdapat beberapa perbedaan nilai yang cukup signifikan antara kedua sampel khususnya di parameter warna, oksigen terlarut, dan kekeruhan sampel ini.
            Sampel A memiliki nilai yang cukup tinggi untuk warna dan kekeruhan sehingga berpengaruh pada nilai DO (oksigen terlarut dalam air) yang semakin rendah. Hal ini disebabkan karena semakin keruh suatu air maka kemampuan fotosintesis tumbuhan air akan semakin rendah akibat kurangnya atau terhalangnya cahaya matahari yang masuk sehingga hal ini menyebabkan produksi oksigen dalam air semakin sedikit. Minimnya oksigen di dalam air laut akan menyebabkan sulitnya biota laut untuk hidup. Warna pada sampel air dengan jarak 0.2 km tidak memenuhi Permenkes tersebut di atas dengan kadar maksimum 15 PtCo (TCU).
Selain itu dari segi kekeruhan pun sampel A tidak memenuhi standar pada Permenkes Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 dengan kadar maksimum 5 NTU. Nilai DO (oksigen terlarut) yang hanya sebesar 2.83 mg/L juga hanya memenuhi air kelas IV (batas minimum 0) untuk mengairi pertanaman dan menunjukkan pencemaran tingkat sedang (rentang 2.0-4.4 pada tabel status kualitas air sumber Lee et. al., 1978). Dengan kondisi parameter air di atas maka perkembangbiakan ikan berkemungkinan kecil atau tidak ada karena kandungan oksigennya yang rendah. Selain warna dan keruhnya air yang menghambat proses aerasi (masuknya oksigen dari udara ke dalam air), nilai DO yang kecil juga disebabkan adanya polutan baik organik dan anorganik seperti plastik, kayu, sterofoam, yang ditemukan di pinggir pantai dan kemungkinan sisa dari pembangunan yang tampak di seberang lokasi pengambilan sampel. Tidak adanya tumbuhan air yang berfotosintesis menghasilkan oksigen, juga dapat menjadi faktor pendukungnya.

Pada sampel B, parameter warna memenuhi Permenkes Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum dan PP RI No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air. Meskipun begitu, air pada titik ini tidak bisa diputuskan aman dikonsumsi karena banyak parameter lainnya yang harus dipenuhi. Nilai kekeruhan yang hanya di bawah 5 NTU yaitu 0.68 sangat baik sehingga hal ini memungkinkan untuk fitoplankton berfotosintesis dengan baik. Hal ini terlihat dari nilai DO sebesar 5.90 yang dapat dikatakan baik dan masuk kelas II dalam PP RI No 82 Tahun 2001. Menurut peraturan tersebut, peruntukan air jenis ini (kelas II) cocok untuk tempat rekreasi. Dari riset lapangan secara kasat mata juga dapat dilihat pada lokasi pengambilan sampel ini telah dijadikan salah satu titik snorkeling (melihat terumbu di dasar laut dari permukaan) oleh para wisatawan yang berkunjung ke pulau ini karena terumbu karang yang hidup di dalam air laut ini dapat berkembang dengan baik. Dengan kandungan DO seperti itu, organisme air lain juga dapat berkembang dengan cukup baik.
Sedangkan, untuk nilai pH sampel A dan B sebesar 7.75 dan 7.79 menunjukkan tingkat air yang cukup netral (rentang 6.5-8.5), tidak terlalu asam maupun basa. Untuk nilai TDS, kedua sampel ini memiliki nilai yang besar yaitu berturut-turut 31400 dan 32700 mg/L yang mana sesuai Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 bernilai maksimum 500 dan PP RI No 82 Tahun 2001 kelas IV (kelas paling rendah) bernilai maksimum 2000 mg/L. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan garam yang cukup besar sehingga TDS (kandungan residu solid/ padatan terlarut dalam air) yang menyebabkan rasa pada air, cukup besar pula.
            Dari kedua sampel di atas dapat dilihat bahwa setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia dapat memengaruhi kandungan oksigen dan karakteristik dari air laut. Kegiatan membuang sampah ke laut mampu menjadikan organisme-organisme yang ada di dalam laut kehilangan tempat tinggal yang layak bahkan juga dapat menyebabkan punahnya berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang hidup di bawah laut. Laut di sekitaran Pulau Pari (jarak ± 0.2 km) lebih tercemar yang mana kegiatan penduduk pulau setempat atau para wisatawannya yang kurang selaras dalam pelestarian lingkungannya. Perkembangan suatu pulau untuk lebih maju baik dalam segi sumber daya maupun pariwisata juga memiliki sisi lain berupa ancaman yang begitu nyata bagi daerahnya. Oleh karena itu, akan lebih baik jika dalam setiap aktivitas diiringi segala pandangan yang lebih visioner demi terciptanya keberlangsungan kehidupan di masa yang akan datang. Pelestarian lingkungan terutama daerah laut dalam wisata Kita ke Pulau Pari tersebut perlu dimiliki. Jika hal ini dilaksanakan dengan baik bukan tidak mungkin jika kehidupan bawah laut yang begitu memukau juga dapat dirasakan oleh anak cucu Kita di masa yang akan datang. Perlu dicamkan salah satu semboyan hidup bahwa, ‘Laut Adalah Milik Kita dan Kita-lah yang Harus Menjaga-nya’.

Friday, June 01, 2012

Masih Seperti Bintang

Aku terjaga dari huru hara dunia,
Karena alam semakin mendesak resah,
Terkenang masa-masa ketika melankolis dilakoni,
Membayang raga bersama kelip malam angkasa,
Kau tak cuma taburkan rasa dimana aku diam,
Kau juga integrasikan pikiranku tuk sepertimu,
Walau namamu ini haram kutulis,
Tapi seyogyanya tak akan ada yang boleh melarang,
Kau tak pernah wujudkan mimpiku,
Hanya menjadi bayang-bayang dan diam menghilang,
Adakalanya aku benar-benar merasa terlambat,
Mengakhiri dan relakan perjalananku perjalananmu,
Sinarmu masih terangi malam dan aku lihat itu,
Tapi, tetap saja masih haram kutulis namamu dalam kertas ini,

Depok, 24 Februari 2012
Yelna Yuristiary

Entri Populer