Perjalanan paling hemat yang pernah
kujalani selanjutnya adalah berkunjung ke Jogja dengan tiket KA Ekonomi dengan
harga 37 ribu rupiah. Perjalanan ke Jogja kami dimulai tanggal 13 Juni 2012 jam
7 malam. Kami berangkat dari stasiun Tanah Abang ke Lempuyangan (Jogjakarta).
Perjalanan dengan KA Ekonomi ini lumayan nyaman walaupun setiap detik selalu
ada pedagang-pedagang yang lalu lalang menawarkan barang dagangannya. Tapi, ya
namanya juga usaha nggak apa-apa sih. Yang penting dia senang kita tenang. Kami
sampai di stasiun Lempuyangan pukul 05.30 pagi. Sesampainya di stasiun
Lempuyangan kami mulai mencari tiket untuk pulang karena sebelumnya di stasiun
Tanah Abang kami kehabisan tiket pulang (kehabisan tiket Ekonomi). Hehehe…
Berhubung karena saat itu hari masih pagi dan loket penjualan tiket belum buka,
kami menyempatkan diri dulu untuk sholat di musholla sekitar stasiun
Lempuyangan. Sarapan pagi kami juga dilakukan di warung depan stasiun. Pukul
07.30, kami pun mulai mengantri membeli tiket hingga akhirnya kami hanya
menemukan tiket AC Ekonomi Gajahwong untuk pulang di tanggal 17 Juni.
Lepas dari urusan tiket, kami mulai
berjalan menuju shelter bus Trans-Jogja yang berada di dekat stasiun ini. Hal
pertama yang sangat aku ingat tentang kota ini adalah kecepatan dari sepeda
motor dan mobil di jalanan kota ini sepertinya lumayan kencang. Kami pun mulai
perjalanan dari shelter Trans Jogja ini ke halte Prambanan karena destinasi kami
selanjutnya adalah Candi Prambanan ini. Nah, satu hal lagi yang sepertinya
lumayan aneh menurutku adalah kami sangat narsis ketika pertama kali sampai di
Jogja. Hal ini terlihat dari banyaknya foto-foto kami di shelter bus Trans
Jogja. Padahal kalau dipikir-pikir shelter bus ini biasa saja. Bedanya ia
terletak di Jogja. Itu saja. Sesampainya di Candi Prambanan, kami memasuki
wilayah Candi dan mulai memesan karcis masuk lengkap dengan wisata Ratu Yelna.
Upps.. Maaf salah, Ratu Boko maksudnya. Hahahaa.. :D
Kami pun diajak oleh bapak guide-nya
ke lokasi Ratu Boko dan mulai berfoto-foto di sana. Berbagai pose dikeluarkan
dari berdiri, jongkok, duduk, berdiri setengah jongkok setengah hingga sampai
berpura-pura jadi wall climbers juga ada. Bagi yang cowok-cowok juga mulai uji
nyali di lokasi ini dengan turun ke tempat pembakaran jenazah di lokasi Ratu
Boko ini. Beralih dari lokasi Ratu Boko, kami menuju Candi Prambanan yang
letaknya lebih dari 3 km dan ditempuh dengan mobil paket wisata Candi ini. Di
Prambanan inilah tenaga kami sudah terkuras habis hingga ada satu awak dari tim
kami yang kerjanya hanya mencari tempat teduh untuk ‘bobok’ siang. Di Prambanan
juga kami masih foto-foto dengan berbagai pose. Rasanya ke Candi ini hanya
untuk mencari view terbaik dan menyelipkan muka di view yang baik itu. Pukul
03.30 sore kami mulai bertolak menuju pantai Parang Tritis, tepatnya Losmen Prasetyo
yang ada di sana. Sebelumnya kami sudah memesan kamar di losmen ini dan
herannya kami bahwa losmen di daerah ini sangat murah. Ya, Rp 40000/malam untuk
3 orang merupakan harga yang ditawarkan oleh pemilik losmen ini untuk kami.
Perjalanan ke Parang Tritis dimulai dari terminal Giwangan yang letaknya
sendiri kami tidak tahu karena tidak ada di dalam peta Jogja yang kami cetak.
Perjalanan ke Parang Tritis ternyata
cukup lama dan membuat ngantuk. Di bus yang kami tumpangi juga sedikit aneh
karena tidak ada kenek bus-nya dan si sopir selalu mengisi bus-nya walaupun
kami sudah empot-empotan di dalam bus yang berukuran lumayan mini itu. Hal ini
juga sangat berkesan bagi salah satu awak tim kami yang sempat kehilangan topi
milik bapaknya di bus ini. Namun, sepanjang perjalanan sebenarnya kami juga
menikmati indahnya Gunung Kidul dan sunset yang timbul tenggelam di balik
rumah-rumah dan pepohonan sepanjang jalan yang kami lalui. Pukul 05.40 kami pun
tiba di losmen Prasetyo. Pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah yang
disulap jadi losmen ini kami awalnya gembira. Si abang-abang penunggu losmen
pun mengantarkan kami ke kamar yang telah kami sewa. Namun, suasana mistis
mulai terasa ketika dua dari awak tim kami pulang dari laut untuk melihat
sunset. Salah seorang dari mereka menceritakan kengerian di losmen ini. Hal ini
didukung juga dengan sepinya losmen yang menjadikan rumah ini bukan seperti
penginapan. Akan tetapi lebih seperti tempat persembunyian di dekat Pantai
Parang Tritis. Malamnya kami mulai berjalan ke arah pantai dan menyusuri laut
disana. Disini juga terasa suasana mistis karena pada malam itu merupakan malam
Jumat Kliwon dimana banyak penduduk yang melakukan ritual-ritual di pantai
tersebut. Tidak jauh dari lokasi ritual juga terdapat semacam pasar kaget yang
menjual berbagai macam jenis dagangan. Mulai dari pakaian, permainan, alat perkakas,
hingga jimat-jimat yang diyakini oleh beberapa orang. Namun, malam itu kami
tidak berlama-lama di pantai karena suasana yang seram dan minimnya penerangan
di pantai itu menjadikan pantai ini sangat tidak menyenangkan untuk dikunjungi
di malam hari.
***
Paginya, kami terlambat bangun. Hal
ini menyebabkan kami tidak sempat menyaksikan sunrise di balik Gunung Kidul
yang letaknya persis di depan losmen kami. Namun, pagi itu juga kami mulai
berbenah dan menuju pantai kembali untuk menikmati suasana di sana. Sesampainya
di pantai, barulah kami melihat indahnya pantai yang tadi malam kami kunjungi.
Ombaknya yang besar menjadi sensasi tersendiri ketika berada di
tengah-tengahnya. Di pantai ini kami mulai bercanda dan berlari-larian
seenaknya. Ketika air surut kami ke tengah, dan ketika ada ombak yang besar
kami mulai berlari-larian. Ada juga beberapa teman kami yang sengaja berfoto di
tengah ombak dan membiarkan pakaiannya basah. Di pantai ini juga ada dokar dan
bapak penjual kacamata. Salah satu trik bapak ini untuk menggaet pelanggan
wanitanya adalah memanggil ‘puteri’ kepada pelanggannya ini. Yah, bagi saya dan
beberapa teman saya yang notabene orang Sumatera pasti akan terbang mendengar
sebutan ini.
Usai bermain-main di pantai kami pun
melanjutkan perjalanan pulang ke Malioboro. Sesampainya di Malioboro kami mulai
mencari hotel dan berencana pergi ke Borobudur. Namun, waktu dan kesempatan
sepertinya tidak berpihak dan hal ini merubah rute kami yakni hanya berbelanja
di Malioboro. Awalnya kami merasa sedikit sedih karena tidak jadi ke Borobudur
di hari itu. Planning yang gagal menjadikan kami bermuram durja hingga akhirnya…Terereeeng…
Malioboro mengubah kesedihan itu menjadi sifat belanja gila yang menjadi-jadi.
Di Malioboro ini kami seolah-olah mendapatkan semangat baru untuk lebih kuat
berjalan, menawar dan mencari oleh-oleh yang pas untuk dibawa pulang. Harga
yang ditawarkan pun lumayan murah dan menjadikan kami sedikit ahli dalam hal
tawar-menawar. Di Malioboro kami menghabiskan waktu sampai malam dan baru
pulang ketika kaki-kaki kami rasanya sudah mau copot. Perjalanan pulang ke
hotel Indonesia merupakan suatu hal terberat yang kami rasakan karena setiap
langkah yang kami lakukan berpeluang bagi kami untuk singgah di kaki lima yang
menawarkan berbagai produk dan oleh-oleh yang membuat silau mata dan hasrat
yang besar untuk menghabiskan uang disana.
Sesampainya di hotel Indonesia, kami
istirahat sejenak dan memulihkan tenaga untuk kembali pergi ke alun-alun
selatan Jogja. Perjalanan ke alun-alun selatan kami tempuh dengan berbecak ria
dan menikmati malam di Jogja. Jogja memang kota yang indah dan temaram di malam
hari. Jauh dari hiruk pikuk dan hingar bingar dunia metropolitan yang terkadang
masih semrawut ketika malam tlah tiba. Di alun-alun selatan, kami mulai mengisi
perut terlebih dahulu dengan mencicipi makanan khas dan minuman khas Jogja.
Tidak lupa juga kami menikmati suara-suara pengamen di Jogja yang mana
mengamennya tergolong bagus dan berkualitas. Setelah makan-makan, kami mulai
mencoba mitos pohon beringin yang ada di alun-alun selatan ini. Ketika mencoba
beringin inilah aku merasa benar, namun ternyata salah. Langkah yang melenceng
dan halusinasi semu yang menjadikan aku tak sampai-sampai ke tengah beringin
ini. Bosan mencoba, aku pun mengurungkan niatku untuk kembali melangkah dan
menjadikan mitos ini hanya mitos. Hahaha… Emang gue pikirin.
Selepas mencoba mitos beringin yang
aneh itu, kami pun naik sepeda hias yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga menjadikan sepeda ini sangat digandrungi oleh wisatawan yang
berkunjung ke daerah ini. Kami bersepeda sebentar saja (hanya 2 keliling)
alun-alun dan setelah itu kami pun kembali ke hotel.
***
Pagi ini kami bangun tepat waktu.
Pukul 06.00 aku dan salah satu awak tim kami mulai berbecak ria menuju pusat
oleh-oleh Bakpia Pathuk 25. Kami pun mulai blenja-blenji Bakpia untuk dibawa
pulang. Setelah itu pukul 07.00 kami mulai perjalanan ke Candi Borobudur dengan
terlebih dahulu ke terminal Jombor. Di terminal Jombor inilah kami menyempatkan
diri untuk sarapan di angkringan dan membeli bekal makan siang untuk di Candi
nantinya. Perjalanan ke Borobudur merupakan perjalanan yang cukup lama, sekitar
3 jam. Setelah sampai di terminal Borobudur kami pun mulai berjalan kaki ke
arah Candi di tengah cuaca terik hari itu. Sesampainya di Candi, kami pun mulai
membeli karcis dan masuk ke Candi dengan terlebih dahulu menggunakan batik yang
diikatkan ke pinggang. Pembatikan ini dilakukan untuk menjaga kelestarian batik
di mata dunia (ini opiniku, opinimu). Nah, di Borobudur ini satu-satunya
kegiatan yang kami lakukan adalah FOTO-FOTO dan BERNARSIS RIA. Namun, salah
satu dari awak tim kami yang dulunya pernah mencari lokasi ‘bobok’ siang di
Candi Prambanan lagi-lagi hanya menjadi fotografer di acara foto-foto ini.
Sepertinya ia kurang tertarik untuk menjadi objek foto. Di Borobudur kami
menghabiskan waktu yang cukup lama hingga siang dan kami pun makan siang di
pelataran candi dengan bekal yang telah kami bawa sebelumnya.
Setelah itu kamipun pulang dan juga
sempat ‘nyangkut’ di pasar tradisional yang kembali menawarkan oleh-oleh khas
Jogja dan Borobudur di sini. Perjalanan pulang dari Borobudur kami rasa sangat
melelahkan. Hal ini terlihat dari kondisi seluruh tim yang tertidur pulas di
bis angkutan menuju Jombor. Dari Jombor kami pun kembali menuju hotel Indonesia
untuk mengambil barang-barang yang kami titipkan sebelumnya. Pukul 05.00 sore,
kami pun menuju mesjid sekitar Malioboro untuk sholat magrib kemudian setelah
itu kami menuju shelter Trans Jogja untuk menuju stasiun Lempuyangan karena
pukul 07.20 KA Gajah Wong akan berangkat kembali ke Jakarta. Perjalanan di bus
kami habiskan dengan bersenda gurau dan perpisahan kecil-kecilan dengan kota
ini. Di dalam bus kami tertawa cekikikan dan mulai ngalor ngidul nggak jelas.
Hingga akhirnya kami merasa perjalanan ini terlalu lama. Padahal jika dilihat di
peta, jarak antara Malioboro dan stasiun tidak begitu jauh. Dan ternyata… Kami
salah dalam memilih moda transportasi menuju stasiun. Salah seorang bapak
mengatakan, ‘Ada baiknya kalau tadi kalian naik becak saja. Kalau naik ini sama
saja kalian mengelilingi Jogja dengan bus’. Serasa mendengar langit akan runtuh
karena sebentar lagi Kereta kami akan berangkat. Disitu kami mulai panik dan
berkeluh kesah. Ada juga yang frustasi sampai ada yang sakit perut mendadak.
Hingga akhirnya kami tiba di shelter bus dekat stasiun pukul 07.10 malam.
Padahal untuk menuju stasiun kami harus berjalan kaki beberapa ratus meter yang
mana hal itu sangat tidak mungkin ditempuh dengan waktu 10 menit. Namun, ternyata
Tuhan memiliki jalan lain dimana untungnya ada 1 tukang ojek dan 1 becak yang
ada di shelter itu sehingga kami menggunakan 1 ojek dan 1 becak ini untuk
mengangkut kami dan barang-barang kami ke stasiun. Tapi ironisnya, bagi para
lelaki yang ikut dalam ekspedisi ini, mereka diharuskan berlari
sekencang-kencangnya karena tidak muat di ojek dan becak ini. Hingga berkat
kerja keras, keyakinan dan semangat juang yang tinggi, kami pun tiba di stasiun
Lempuyangan tepat waktu. Dan ternyata lagi, keretanya telat 10 menit dan inilah
hal yang menyebabkan kami tidak terlambat pulang ke Jakarta.
Sayonara Jogjakarta… :*